SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
SUMBER-SUMBER
HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
Sucita Ramadhanti
202010110311356
A. Pengertian
Sumber Hukum
Sumber
hukum dalam bahasa Inggris disebut source of law yang artiannya lebih
menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal-usul suatu nilai atau norma
tertentu. Konsep mengenai sumber hukum menurut L.J. van Apeldoorn[1] dalam memandang sumber
dari ahli sejarah menjadi dua hal, yaitu :
1) Sumber
hukum dalam arti sumber pengenalan hukum melalui tulisan, dokumen, inskripsi,
dan sebaganya. Hal ini menunjukkan bahwa kita dapat mengenal hukum suatu bangsa
melalui undang-undang, keputusan hakim, piagam yang berisi perbuatan hukum,
tulisan-tulisan ahli hukum yang bersifat yuridis.
2) Sumber
hukum dalam arti sumber-sumber dari mana pembentuk undang-undang dapat
memperoleh bahan untuk mementuk suatu undang-undang dalam sistem hukum, atau
asal muasal hukum positif suatu negara.
Adapun
sumber hukum dalam artian sosiologis, Apeldoorn mengatakan bahwa sumber
hukum-lah yang merupakan faktor dari penentuan isi suatu hukum positif,
misalnya seperti keadaan ekonomi, pandangan agama maupun saat-saat psikologis.
Kemudian dilakukannya penyelidikan terhadap faktor-faktor tersebut, dan meminta
untuk bekerja sama dengan berbagai ilmu pengetahuan (sejarah hukum, agama dan
ekonomi), psikologi dan ilmu filsafat.
Sumber
hukum sesuai dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan sebagai :
1) Sumber
hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan
perundang-undangan
2) Sumber
hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis
3) Sumber
hukum dasar nasional adalah :
·
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945
·
Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
B. Sumber
Hukum Tata Negara Materiel
Sumber
hukum materiil menjelaskan sumber dari substansi hukum berupa perjanjian,
kebiasaan-kebiasaan, dan sebagainya yang dapat memengaruhi pembentukan hukum.
Dalam Hukum Tata Negara, substansi tersebut ada dalam Pancasila yang merupakan
volgeist atau jiwa bangsa. Pancasila yakni sebagai ‘bahan baku’ filosofis bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan secara keseluruhan. Isi suatu hukum
harus merujuk pada Pancasila karena akan dituangkan dalam norma hukum.
Pancasila
sebagai sumber hukum materiil memilik tiga elemen, yakni[2] :
1. Sebagai
volkgeist atau jiwa bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat dapat
hidup secara damai dan beradab, karena jiwa bangsa terletak pada prinsi-prinsip
yang dianut masyarakatnya.
2. Sebagai
volkreich atau jiwa rakyat, merupakan refleksi dinamis dari perkembangan
masyarakat Indonesia. Jiwa rakyat harus diresapi sehingga persatuan dan
kehendak rakyat telah mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
merdeka.
3. Sebagai
volkrecht atau sumber dari segala sumber hukum. Pancasila adalah filsafat
dasar, bukan seperti UUD NRI 1945 yang merupakan norma fundamental negara.
Demikian
Pancasila sebagai sumber hukum materiil berhubungan langsung dengan materi dari
mana hukum tersebut diambil.
C. Sumber
Hukum Tata Negara Formil
Sumber
hukum tata negara dalam arti formil adalah peraturan tertulis maupun tidak
tertulis. Sumber hukum formil tersebut yakni berkaitan dengan eksistensi sumber
hukum tata negara formal, karena menjadi dasar hukum bagi pembentukan sistem
politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, kelembagaan negara dan kehidupan
ketatanegaraan lainnya.
1. Undang-Undang
dasar dan Peraturan Perundang-Undangan
a) UUD
1945
Undang-Undang dasar 1945
merupakan konstitusi negara Indonesia yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 sebagai hukum dasar. Ia bukanlah hanya sebuah dokumen penting, melainkan
sebuah cita-cita dan pandangan hidup yang menjadi nilai-nilai luhur bangsa
serta landasan penyelenggaraan negara. Sebagai sumber hukum tertinggi,
undang-undang dasar menjadi pedoman dan panduan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
di bawahnya. [3]
UUD 1945 sebagai sumber
hukum peraturan di bawahnya, diubah dan diamandemen oleh lembaga yang memiliki
otoritas penuh dan berwenang, yakni dilakukan oleh MPR sesuai yang diatur dalam
Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi :
“Majelis Permusyawaratan
Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan
negara.”
Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulus mengalami amandemen sebagai berikut :
·
Undang-Undang dasar 1945
·
Konstitusi RIS 1949
·
UUD Sementara 1950
·
Undang-Undang Dasar Negara republik
Indinesia Tahun 1945
b) Ketetapan
MPR
Ketetapan MPR atau
disingkat TAP MPR/MPRS yang ditetapkan oleh MPR sebagai wujud dari kedaulatan
rakyat. Eksistensinya diakui dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal
7 ayat (1) huruf b.[4]
Ketetapan MPR adalah
bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan dalam UUD, tetapi
merupakan sesuatu yang tumbuh dalam praktek ketatanegaraan sejak tahun 1996
sehingga menjadi kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan. Ketetapan MPR dibatasi
pada pengertian tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum
serta mengatur hal konkrit dan individual.[5]
c) Undang-undang/Perpu
Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Presiden memiliki hak
dalam menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam
keadaan kegentingan negara yang memaksa. Perpu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah tersebut harus dicabut.
menurut ketentuan Pasal
12 UUD 1945 bahwa istilah umum dari kegentingan memaksa tidak bisa disamakan
dengan pengertian dari “keadaan bahaya”. Keadaan darurat atau kegentingan
memaksa adalah keadaaan yang diartikan secara subjektif dari sudut pandang
Presiden/Pemerintah dikarenakan oleh :
(i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu
undang-undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan
mendesak bagi negara
(ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk
mendapatkan persetujuan DPR tidak mencukupi yang semestinya.[6]
d) Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah
merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya ‘administratiefrehtelijk’
dikarenakan tidak dapat mengatur atau menciptakan kaidah yang menyangkut
ketatanegaraan.[7]
Rencana penyusunan
Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan khusus yang
memuat daftar judul dan pokok materi rancangannya. Hal ini berjalan dalam kurun
waktu satu tahun.
Peraturan Pemerintah
memiliki beberapa karakteristik, menurut A. Hamid S A Attamimi, sebagai
berikut:
1) Peraturan pemerintah
tidak dapat dibentuk tanpa adanya undang-undang yang menjadi induk
2) Peraturan pemerintah
tidak bisa mencantumkan sanksi pidana apabila undang-undang yang bersangkutan
tidak mencantumkannya
3) Ketentuan Peraturan
Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan undang-undang yang
bersangkutan
4) Untuk menjalankan, menjabarkan,
atau merinci ketentuan undang-undang, perturan pemerintah dapat dibentuk meski
ketentuan undang-undang tersebut tidak memintanya secara tegas
5) Ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan:
Peraturan Pemerintah tidak berisi penatapan semata-mata[8]
e) Peraturan
Daerah
Peraturan Daerah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk DPRD dengan persetujuan dari kepala
daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota). Materinya berisi muatan rangkaian
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta untuk menampung
kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Pada Pasal 18 ayat (6)
UUD 1945 dikatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Peraturan Daerah di tingkat Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur. Di tingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh DPRD Kabupaten/kota bersama
Bupati/walikota. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi
kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi, begitu juga
di tingkat kabupaten disampaikan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/kota kepada
Bupati/ walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabuapen/ kota.[9]
2. Konvensi
Ketatanegaraan
Menurut
Ismail Sunny, ia mengatakan bahwa konvensi ketatanegaraan diartikan sebagai
perbuatan ketatanegaraan berulang-kali sehingga dapat diterima dan ditaati
dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan
hukum.[10]
Hukum
dasar yang tidak tertulis disebut juga dengan konvensi, kebiasaan
ketatanegaraan atau hukum adat. dalam konteks penjelasan UUD 1945 asli hukum
dasar yang tidak tertulis adalah konvensi karena dalam akhir kalimat
“aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelengaraan
negara meskipun tidak tertulis”.
3. Traktat
(Perjanjian Internasional)
Traktat
atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Jika
dilakukan oleh dua negara, dinamakan bilateral. Jika diadakan oleh banyak
negara atau kolektif, maka dinamakan multilateral.[11]
Negara
yang mengikatkan diri pada perjanjian internasional wajib menjalankan
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam perjanjian tersebut. Hal inilah
yang menjadikan traktat sebagai sumber hukum dalam hukum tata negara.
Dalam
mengikatkan diri dengan perjanjian internasional, maka negara-negara yang
mengikatkan diri tersebut mengatur tentang cara menyetui pengikatan diri dengan
perjanjian melalui ratifikasi, sedangkan cara pengikatan diri dengan akseptasi
atau persetujuan berdasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan
persetujuan untuk terikat pada perjanjian.[12]
4. Doktrin
Doktrin
hukum di sebut juga “Pendapat Sarjana Hukum” atau ahli hukum. Doktrin adalah ungkapan
atau istilah dalam hukum Perancis abad ke-19 yang berarti, “kumpulan pendapat atau
pernyataan ahli hukum tentang berbagai masalah hukum yang diekspresikan dalam
buku dan artikel.”
Dalam
kenyataan, banyak pendapat para ahli hukum yang banyak diikuti orang dan
menjadi dasar dan pertimbangan dalam penetapan suatu hukum, baik hakim ketika
akan memutuskan suatu perkara atau oleh pembentuk undang-undang.
Menurut
Jimly Asshiddiqie[13], doktrin harus mememuhi
persyaratan antara lain :
(i)
ilmuwan yang bersangkutan dikenal dan diakui luas sebagai ilmuwan yang memiliki
otoritas di bidangnya dan mempuyai integritas kepercayaan.
(ii)
terhadap persoalan yang bersangkutan memang tidak ditemukan dalam peraturan
tertulis yang berlaku
(iii)
pendapat hukum dimaksud telah diakui keunggulannya dan diterima oleh dikalangan
sesama ilmuwan dan juga umum.
5. Yurisprudensi
atau Keputusan Hakim
Dalam
sistem hukum Indonesia, tidak semua putusan pengadilan dianggap yurispudensi, kecuali
harus memenuhi syarat-syarat, antara lain[14] :
a. harus
sudah merupakan putusan yang mempuyai kekuatan hukum tetap
b. dinilai
baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersangkutan
c. putusan
yang berulang beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa
tempat tepisah
d. norma
yang terkandung didalamnya memang tidak terdapat peraturan tertulis yang
berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas
e. putusan
dinalai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh
tim eksaminasi atau tim penilai sendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi bersifat tetap.
Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab
maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim
lain :
a) Keputusan
hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila kepetusan tersebut dibuat
oleh Pengadilan Tiggi ataupun Mahkamah Agung.
b) Seorang
hakim menuruti keputusan yang telah diberi oleh hakim yang kedudukannya lebih
tinggi darinya.
c) Seorang
hakim menuruti keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim
lain itu yang disebabkan oleh persesuaian pendapat.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshidiqie, J. (2006). PENGANTAR
ILMU HUKUM TATA NEGARA JILID 1. Jakarta Pusat: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Jurdi, F. (2019). HUKUM
TATA NEGARA INDONESIA. Jakarta: KENCANA.
Mujiburohman, D. A.
(2017). PENGANTAR HUKUM TATA NEGARA. Yogyakarta: STPN Press.
[1] L.J. van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, (Jakarta:2004), hlm. 75-76 atau bisa dilihat
dalam Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana,
Jakarta:2019), hlm. 80
[2] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata
Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana, Jakarta:2019, hlm. 85
[3] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar
Hukum Tata Negara, (STPN Press, Yogyakarta:2017), hlm. 27
[4] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata
Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana, Jakarta:2019), hlm. 86
[5] Bagir Manan, Teori dan Politik
Konstitusi, (Jakarta: UII Press, 2003), hlm. 217 atau dapat dilihat dalam Dian
Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, (STPN Press,
Yogyakarta:2017), hlm. 31
[6] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 169
[7] Ibid, hlm. 222
[8] Maria farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan Dasar-Dasar Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hlm. 99
[9] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar
Hukum Tata Negara, (STPN Press, Yogyakarta:2017), hlm. 36
[10] Ismail Sunny, Pengeseran
Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara baru, 1986), hlm. 31-46
[11] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Jilid 1, (Sekretariat Jendral dan Kepanitiaan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta:2006), hlm. 231
[12] Fajlurrahman
Jurdi, Hukum Tata Negara
Indonesia Edisi Pertama, (Kencana, Jakarta:2019), hlm. 105
[13] Jimly Asshidiqie, Pengantar, Loc.Cit,
hlm. 146
[14] Jimly Asshidiqie, Pengantar, Loc.Cit,
hlm 142-143