Hello!

It's honor to have you here, visitors. Selamat berjelajah tentang hukum di sekitar kita.

Let's Check! Purchase Theme

Tujuan pembuatan blog

Unique Design

Dengan desain yang tentu tidak bikin ngantuk, hehe.

Masa, sih?

Great Concept

Konsep yang dijamin membuat gak gampang bosen, kok.

Apa iya?

Advanced UI

Teruntuk dosen-dosen saya, silahkan mampir di blog yang penuh ketidaksempurnaan ini.

Makasih, Pak/Bu!

Friendly Type

Tipe yang asyik layaknya lawakan bapack-bapack pos ronda.

Keren, sih!

Rabu, 24 Maret 2021

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

 

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

Sucita Ramadhanti

202010110311356

 

 

A.    Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum dalam bahasa Inggris disebut source of law yang artiannya lebih menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal-usul suatu nilai atau norma tertentu. Konsep mengenai sumber hukum menurut L.J. van Apeldoorn[1] dalam memandang sumber dari ahli sejarah menjadi dua hal, yaitu :

1)      Sumber hukum dalam arti sumber pengenalan hukum melalui tulisan, dokumen, inskripsi, dan sebaganya. Hal ini menunjukkan bahwa kita dapat mengenal hukum suatu bangsa melalui undang-undang, keputusan hakim, piagam yang berisi perbuatan hukum, tulisan-tulisan ahli hukum yang bersifat yuridis.

2)      Sumber hukum dalam arti sumber-sumber dari mana pembentuk undang-undang dapat memperoleh bahan untuk mementuk suatu undang-undang dalam sistem hukum, atau asal muasal hukum positif suatu negara.

Adapun sumber hukum dalam artian sosiologis, Apeldoorn mengatakan bahwa sumber hukum-lah yang merupakan faktor dari penentuan isi suatu hukum positif, misalnya seperti keadaan ekonomi, pandangan agama maupun saat-saat psikologis. Kemudian dilakukannya penyelidikan terhadap faktor-faktor tersebut, dan meminta untuk bekerja sama dengan berbagai ilmu pengetahuan (sejarah hukum, agama dan ekonomi), psikologi dan ilmu filsafat.

Sumber hukum sesuai dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan sebagai :

1)      Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan

2)      Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis

3)      Sumber hukum dasar nasional adalah :

·         Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945

·         Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945

 

B.     Sumber Hukum Tata Negara Materiel

Sumber hukum materiil menjelaskan sumber dari substansi hukum berupa perjanjian, kebiasaan-kebiasaan, dan sebagainya yang dapat memengaruhi pembentukan hukum. Dalam Hukum Tata Negara, substansi tersebut ada dalam Pancasila yang merupakan volgeist atau jiwa bangsa. Pancasila yakni sebagai ‘bahan baku’ filosofis bagi penyusunan peraturan perundang-undangan secara keseluruhan. Isi suatu hukum harus merujuk pada Pancasila karena akan dituangkan dalam norma hukum.

Pancasila sebagai sumber hukum materiil memilik tiga elemen, yakni[2] :

1.      Sebagai volkgeist atau jiwa bangsa. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat dapat hidup secara damai dan beradab, karena jiwa bangsa terletak pada prinsi-prinsip yang dianut masyarakatnya.

2.      Sebagai volkreich atau jiwa rakyat, merupakan refleksi dinamis dari perkembangan masyarakat Indonesia. Jiwa rakyat harus diresapi sehingga persatuan dan kehendak rakyat telah mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.

3.      Sebagai volkrecht atau sumber dari segala sumber hukum. Pancasila adalah filsafat dasar, bukan seperti UUD NRI 1945 yang merupakan norma fundamental negara.

Demikian Pancasila sebagai sumber hukum materiil berhubungan langsung dengan materi dari mana hukum tersebut diambil.

 

C.     Sumber Hukum Tata Negara Formil

Sumber hukum tata negara dalam arti formil adalah peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Sumber hukum formil tersebut yakni berkaitan dengan eksistensi sumber hukum tata negara formal, karena menjadi dasar hukum bagi pembentukan sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, kelembagaan negara dan kehidupan ketatanegaraan lainnya.

1.      Undang-Undang dasar dan Peraturan Perundang-Undangan

a)      UUD 1945

Undang-Undang dasar 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hukum dasar. Ia bukanlah hanya sebuah dokumen penting, melainkan sebuah cita-cita dan pandangan hidup yang menjadi nilai-nilai luhur bangsa serta landasan penyelenggaraan negara. Sebagai sumber hukum tertinggi, undang-undang dasar menjadi pedoman dan panduan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di bawahnya. [3]

UUD 1945 sebagai sumber hukum peraturan di bawahnya, diubah dan diamandemen oleh lembaga yang memiliki otoritas penuh dan berwenang, yakni dilakukan oleh MPR sesuai yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi :

“Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”

Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulus mengalami amandemen sebagai berikut :

·         Undang-Undang dasar 1945

·         Konstitusi RIS 1949

·         UUD Sementara 1950

·         Undang-Undang Dasar Negara republik Indinesia Tahun 1945

 

b)      Ketetapan MPR

Ketetapan MPR atau disingkat TAP MPR/MPRS yang ditetapkan oleh MPR sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Eksistensinya diakui dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b.[4]

Ketetapan MPR adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan dalam UUD, tetapi merupakan sesuatu yang tumbuh dalam praktek ketatanegaraan sejak tahun 1996 sehingga menjadi kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan. Ketetapan MPR dibatasi pada pengertian tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum serta mengatur hal konkrit dan individual.[5]

 

c)      Undang-undang/Perpu

Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Presiden memiliki hak dalam menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam keadaan kegentingan negara yang memaksa. Perpu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah tersebut harus dicabut.

menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945 bahwa istilah umum dari kegentingan memaksa tidak bisa disamakan dengan pengertian dari “keadaan bahaya”. Keadaan darurat atau kegentingan memaksa adalah keadaaan yang diartikan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah dikarenakan oleh :

(i)         Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara

(ii)       waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan DPR tidak mencukupi yang semestinya.[6]

 

d)      Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya ‘administratiefrehtelijk’ dikarenakan tidak dapat mengatur atau menciptakan kaidah yang menyangkut ketatanegaraan.[7]

Rencana penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan khusus yang memuat daftar judul dan pokok materi rancangannya. Hal ini berjalan dalam kurun waktu satu tahun.

Peraturan Pemerintah memiliki beberapa karakteristik, menurut A. Hamid S A Attamimi, sebagai berikut:

1) Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa adanya undang-undang yang menjadi induk

2) Peraturan pemerintah tidak bisa mencantumkan sanksi pidana apabila undang-undang yang bersangkutan tidak mencantumkannya

3) Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan undang-undang yang bersangkutan

4) Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan undang-undang, perturan pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut tidak memintanya secara tegas

5) Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan: Peraturan Pemerintah tidak berisi penatapan semata-mata[8]

 

e)      Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk DPRD dengan persetujuan dari kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota). Materinya berisi muatan rangkaian penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta untuk menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pada Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dikatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah di tingkat Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. Di tingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh DPRD Kabupaten/kota bersama Bupati/walikota. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi, begitu juga di tingkat kabupaten disampaikan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/kota kepada Bupati/ walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabuapen/ kota.[9]

 

2.      Konvensi Ketatanegaraan

Menurut Ismail Sunny, ia mengatakan bahwa konvensi ketatanegaraan diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan berulang-kali sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan hukum.[10]

Hukum dasar yang tidak tertulis disebut juga dengan konvensi, kebiasaan ketatanegaraan atau hukum adat. dalam konteks penjelasan UUD 1945 asli hukum dasar yang tidak tertulis adalah konvensi karena dalam akhir kalimat “aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelengaraan negara meskipun tidak tertulis”.

 

3.      Traktat (Perjanjian Internasional)

Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Jika dilakukan oleh dua negara, dinamakan bilateral. Jika diadakan oleh banyak negara atau kolektif, maka dinamakan multilateral.[11]

Negara yang mengikatkan diri pada perjanjian internasional wajib menjalankan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam perjanjian tersebut. Hal inilah yang menjadikan traktat sebagai sumber hukum dalam hukum tata negara.

Dalam mengikatkan diri dengan perjanjian internasional, maka negara-negara yang mengikatkan diri tersebut mengatur tentang cara menyetui pengikatan diri dengan perjanjian melalui ratifikasi, sedangkan cara pengikatan diri dengan akseptasi atau persetujuan berdasarkan pada kondisi/persyaratan yang sama dengan persetujuan untuk terikat pada perjanjian.[12]

 

4.      Doktrin

Doktrin hukum di sebut juga “Pendapat Sarjana Hukum” atau ahli hukum. Doktrin adalah ungkapan atau istilah dalam hukum Perancis abad ke-19 yang berarti, “kumpulan pendapat atau pernyataan ahli hukum tentang berbagai masalah hukum yang diekspresikan dalam buku dan artikel.”

Dalam kenyataan, banyak pendapat para ahli hukum yang banyak diikuti orang dan menjadi dasar dan pertimbangan dalam penetapan suatu hukum, baik hakim ketika akan memutuskan suatu perkara atau oleh pembentuk undang-undang.

Menurut Jimly Asshiddiqie[13], doktrin harus mememuhi persyaratan antara lain :

(i) ilmuwan yang bersangkutan dikenal dan diakui luas sebagai ilmuwan yang memiliki otoritas di bidangnya dan mempuyai integritas kepercayaan.

(ii) terhadap persoalan yang bersangkutan memang tidak ditemukan dalam peraturan tertulis yang berlaku

(iii) pendapat hukum dimaksud telah diakui keunggulannya dan diterima oleh dikalangan sesama ilmuwan dan juga umum.

 

5.      Yurisprudensi atau Keputusan Hakim

Dalam sistem hukum Indonesia, tidak semua putusan pengadilan dianggap yurispudensi, kecuali harus memenuhi syarat-syarat, antara lain[14] :

a.       harus sudah merupakan putusan yang mempuyai kekuatan hukum tetap

b.      dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersangkutan

c.       putusan yang berulang beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat tepisah

d.      norma yang terkandung didalamnya memang tidak terdapat peraturan tertulis yang berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas

e.       putusan dinalai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim eksaminasi atau tim penilai sendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi bersifat tetap.

            Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang         hakim lain :

a)      Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila kepetusan tersebut dibuat oleh Pengadilan Tiggi ataupun Mahkamah Agung.

b)      Seorang hakim menuruti keputusan yang telah diberi oleh hakim yang kedudukannya lebih tinggi darinya.

c)      Seorang hakim menuruti keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu yang disebabkan oleh persesuaian pendapat.

 



DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, J. (2006). PENGANTAR ILMU HUKUM TATA NEGARA JILID 1. Jakarta Pusat: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Jurdi, F. (2019). HUKUM TATA NEGARA INDONESIA. Jakarta: KENCANA.

Mujiburohman, D. A. (2017). PENGANTAR HUKUM TATA NEGARA. Yogyakarta: STPN Press.

 



[1] L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, (Jakarta:2004), hlm. 75-76 atau bisa dilihat dalam Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana, Jakarta:2019), hlm. 80

[2] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana, Jakarta:2019, hlm. 85

[3] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, (STPN Press, Yogyakarta:2017), hlm. 27

[4] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi pertama, (Kencana, Jakarta:2019), hlm. 86

[5] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: UII Press, 2003), hlm. 217 atau dapat dilihat dalam Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, (STPN Press, Yogyakarta:2017), hlm. 31

[6] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 169

[7] Ibid, hlm. 222

[8] Maria farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 99

[9] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, (STPN Press, Yogyakarta:2017), hlm. 36

[10] Ismail Sunny, Pengeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara baru, 1986), hlm. 31-46

[11] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, (Sekretariat Jendral dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:2006), hlm. 231

[12] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Pertama, (Kencana, Jakarta:2019), hlm. 105

[13] Jimly Asshidiqie, Pengantar, Loc.Cit, hlm. 146

[14] Jimly Asshidiqie, Pengantar, Loc.Cit, hlm 142-143

Selasa, 23 Maret 2021

HUBUNGAN HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA

HUBUNGAN HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA

HUBUNGAN HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA

Sucita Ramadhanti

202010110311356

 

 

Hukum Tata Negara diketahui pula sebagai sebuah ilmu. Demikian hal tersebut mempunyai suatu objek kajian yang dapat diteliti, tentunya penelitian tersebut ditempuh melalui proses penelitian atau yang disebut sebuah metode. Terdapat dua metode umum, yakni normatif dan socio-yuridis, yang mana keduanya dapat menghasilkan suatu ilmu yang rasional, objektif dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hukum Tata Negara mempunyai objek kajian yaitu negara. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan organisasi pemerintahan dan kekuasaan dalam negara yang merupakan bagian dari negara itu sendiri.

 

1.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara

Ilmu negara merupakan suatu pengantar yang mendahului sebelum membahas Hukum Tata Negara yang termasuk hukum positif di Indonesia. Secara keseluruhan, ilmu negara membahas teori-teori tentang negara, sendi pokok maupun pengertian sebuah negara sejak ia terbentuk bahkan hingga runtuhnya suatu negara. Maka, apabila ditinjau secara umum, ilmu negara merupakan ilmu yang teoritis. Hal tersebut bersebrangan dengan mempelajari Hukum Tata Negara, yang mana secara umumnya merupakan ilmu yang praktis. Apabila ilmu negara tidak dapat diaplikasikan secara langsung, maka sebaliknya dengan Hukum Tata Negara, yang bersifat praktis karena termasuk dalam isinya mengenai keputusan dan cara menjalankan suatu hukum pada sebuah negara.[1]

Dari segi objek materialnya, Hukum Tata Negara memiliki objek yang sama dengan ilmu negara, yakni negara itu sendiri. Maka sudah sepantasnya ilmu negara menjadi hukum dasar untuk membahas suatu negara, dengan Hukum Tata Negara sebagai pelengkap dan penjabarannya.[2]

Dari segi kemanfaatannya, menurut Rangers Sicama (Jimmy Asshiddique:46) hubungan keduanya sangat berguna bagi dua golongan dalam ahli hukum. Golongan pertama yang ia sebutkan yaitu seorang ahli hukum sebagai penonton atau de jurist als toes chouwer, yang mana perannya sebagai peneliti dalam mencari sebab musabab dan menganalisis teori yang lebih sempurna saat ia menemukan suatu kesalahan dari pemain dalam menentukan hukum pada suatu peristiwa hukum. Maka dalam tinjauannya memerlukan ilmu yang bersifat teoris. Sedangkan golongan kedua yaitu seorang ahli hukum sebagai pemain atau de jurist als medespeler, yang mana perannya sebagai orang yang memutuskan hukum baik bersifat pengaturan, penerapan maupun keputusan peradilan. Maka dalam pelaksanaannya memerlukan pengetahuan yang bersifat praktis.[3]

 

2.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Politik

Politik yakni diartikan sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan kelembagaan negara, seperti pembuatan dan pelaksanaan undang-undang. Demikian Hukum Tata Negara berhubungan dengan badan-badan politik tersebut atau lembaga kenegaraan dimana politik tersebut diatrasikan. Maka, antara politik dengan Hukum Tata Negara memiliki hubungan yang relevan atau saling berkaitan satu sama lain. Apabila diibaratkan sebagai tubuh, maka HTN diibaratkan seperti sebuah kerangka penyangga tulang-belulang dan ilmu politik sebagai daging yang meliputinya. Jika hendak mempelajari Hukum Tata Negara, alangkah lebih baiknya untuk mempelajari ilmu politik sebagai pengantarnya untuk mendapatkan suatu gambaran apa yang akan dibahas dalam Hukum Tata Negara.[4]

Di dalam Hukum Tata Negara mempelajari tentang peraturan-peraturan hukum yang mana peraturan tersebut dapat mengatur organisasi kekuasaan di sebuah negara. Sedangkan Ilmu Politik mempelajari bagaimana kekuasaan tersebut dilihat dari segi perilakunya.

 

3.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara

Meskipun kedua himpunan hukum tersebut sangat sering disandingkan secara bersamaan atau beriringan, tetapi keduanya memiliki perbedaan satu sama lain, meskipun cakupan Hukum Tata Negara dalam arti luas itu dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan Hukum Administrasi Negara tidak lain merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi dalam arti sempit. Inilah yang dinamakan sebagai teori Residu[5] dalam memahami dan membedakan definisi ilmu hukum keduanya.

Perbedaan keduanya dapat dilihat dari objek negara yang dikaji, seperti pendapat Oppenheim yakni Hukum Tata Negara mengkaji negara dalam keadaan diam (staat in rust) atau dalam keadaan bergerak (stat in beweging) serta aspek dinamis negara. Sedangkan rumusan hukum administrasi adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengikat badan-badan baik yang tinggi maupun yang rendah jika badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang ditentukan dalam Hukum Tata Negara. Hal inilah yang dinamakan perumusan Oppenheim sebagai Negara dalam keadaan bergerak. Seperti istilah dari Fritz Werner menyatakan “Verwaltungsrecht als konkretisiertes verfassungsrecht” yaitu bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan Hukum Tata Negara yang diletakkan dalam keadaan konkrit.[6]

Demikian Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara memiliki lapangan pendidikan yang sama, namun perbedaan keduanya terdapat pada cara pendekatan yang digunakan masing-masing. Hukum Tata Negara berusaha mempelajari seluk beluk sebuah organisasi negara dengan badan-badan lainnya. Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempeleajari bagaimana cara agar negara dan organ-organnya menjalankan tugasnya. Singkatnya bahwa objek penyelidikan Hukum Tata Negara  mencakup hal-hal yang pokok mengenai organisasi negara, sedangkan objek penyelidikan Hukum Administrasi Negara yakni peratura-peraturan negara yang bersifat teknis. Hal ini termasuk dalam pembedaan antara keduanya menurut Kranenburg, Van der Pot dan Vegting.[7]

 

4.      Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Publik Internasional

Hukum Tata Negara maupun Hukum Internasional Publik sama-sama merupakan cabang dari ilmu hukum publik. Keduanya menelaah dan mengatur tentang organisasi negara. Adapun perbedaan keduanya yakni dari segi objek perhatian. Hukum Tata Negara mempelajari perspektif suatu negara berdasarkan struktur internalnya, seperti teori tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan raja ataupun teori kedaulatan Tuhan.[8] Sedangkan Hukum Internasional Publik mempelajari hubungan-hubungan hukum antarnegara tersebut berdasarkan externalnya, misalnya konsep kedaulatan yag dikaji adalah konsep kedaulatan yang bersifat external dalam hubungan antarnegara.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, J. (2006). PENGANTAR ILMU HUKUM TATA NEGARA JILID 1. Jakarta Pusat: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Jurdi, F. (2019). HUKUM TATA NEGARA INDONESIA. Jakarta: KENCANA.

Mujiburohman, D. A. (2017). PENGANTAR HUKUM TATA NEGARA. Yogyakarta: STPN Press.

 



[1] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, STPN Press, Yogyakarta:2017, hlm. 14

[2] Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Pertama, Kencana, Jakarta:2019, hlm 29

[3] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jendral dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:2006, hlm. 47-48

[4] Ibid, hlm. 45

[5] Phillipus M, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Pers, Yogyakarta:2005, hlm. 74 ditulis oleh Fajlurrahman Jurdi, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Pertama, Kencana, Jakarta:2019, hlm 32

[6] Fritz Werner, Deutsches Verwalstungblatt, 1959, hlm. 527 dikutip oleh Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jendral dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:2006, hlm. 51

[7] Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, STPN Press, Yogyakarta:2017, hlm. 19

[8] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jendral dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:2006, hlm. 65-66

My Blog

+100 Cups
Karena terlalu menikmati, pengunjung tidak sadar sambil menghabiskan banyak minuman. Hati-hati sering ke kamar mandi!
+9000 Lines
Banyak wawasan yang terkandung disini setiap harinya. Semoga dapat bermanfaat!
+1000 Visitors
Banyak pengunjung tertarik dan tidak ingin berpaling. Hati-hati kangen, lho!

Performance dalam pembuatan blog

Nature Nation
Soul-creator
Home Sweet Home
Creative Placement
Compass Era
Managing Time
Blind Detective
Self-term

Get to Know

Talk to me

Jika terdapat kesalahan maupun pelanggaran dalam penulisan, jangan sungkan untuk menghubungi saya segera. Anda merespon, anda peduli!

Address

Mataram City, West Nusa Tenggara

Work Time

Monday - Friday 24/7

Phone

+6281328717442

Cari Blog Ini

Sucita Ramadhanti. Diberdayakan oleh Blogger.